Kami menjalani kehidupan berkeluarga dengan beragam peristiwa dan
pengalaman. Winih, seperti yang kuduga, begitu mandiri. Tidak seperti
perempuan Jawa kebanyakan, Winih tidak pernah bersikap ‘sendika dhawuh’
ataupun ‘swarga nunut neraka katut’. Winih tegas, bahkan keras jika
memang ada yang tidak benar menurutnya. Kadang kala kami bertengkar
karena perbedaan itu, namun kami selalu bisa belajar dari segala
kekurangan dan kelebihan kami sehingga pertengkaran itu tidak merusak
perkawinan kami.
Dua tahun setelah pernikahan itu, Winih hamil.
Anak pertama kami lahir, bayi perempuan yang cantik, pada saat yang
bersamaan dengan datangnya sepucuk surat dari Solo. Winih diminta datang
ke Solo untuk mengikuti pembentukan sebuah partai yang didirikan oleh
teman–temannya dulu. Winih terdiam setelah membaca surat itu. Kentara
sekali dia bimbang untuk memutuskan.
“Bagaimana pendapatmu, Hans?”
“Apa kata hatimu?” aku balik bertanya.
“Jika
ini terjadi saat kita masih berdua, aku akan langsung memutuskan untuk
kembali ke Indonesia, Hans. Tapi sekarang, sudah ada putri kita,
bagaimana mungkin aku akan pergi meninggalkannya?”
“Win, selama
ini aku menghormati dan mendukung setiap keputusan yang kau ambil. Kamu
adalah istri dan wanita yang luar biasa. Kamu mandiri. Bahkan dalam
banyak hal lebih dari wanita Belanda sekalipun. Dan sampai sekarang pun
aku tetap bersikap sama. Jadi tinggallah di sini. Anak kita belum lagi
berumur seminggu. Kamu pun masih lemah, harus banyak istirahat untuk
memulihkan diri. Tunggulah sampai dirimu dan terutama anak kita kuat.
Aku berjanji, jika saat itu datang, kita akan bersama-sama ke
Indonesia.”
Mata Winih langsung berbinar, ”Sungguh, Hans?”
Dan kami pun berpelukan.
Yosephine
Leonie Petersen, begitu anak itu kami beri nama. Dia tumbuh dengan
sehat dan makin pintar. Kentara sekali dia mewarisi banyak hal dari
kami. Dari segi fisik dia lebih mirip aku dengan kulit yang putih,
rambut yang kemerahan, dan biji mata yang kecokelatan. Tapi, dari segi
sifat, sepertinya dia berkembang lebih mirip ibunya. Kemauannya keras.
Jika permintaannya tidak dikabulkan, dia akan melakukan protes dengan
tidak mengacuhkan orang yang diprotesnya. Dia jarang melakukannya dengan
menangis. Kami bahagia dengan kehidupan kami.
Namun, kepedihan
itu datang juga. Ketika Onie berumur menjelang dua tahun, dua bulan
sebelum rencana keberangkatan kami ke Indonesia, Winih jatuh sakit.
Sakitnya berkepanjangan sampai menggerogoti kebugaran fisiknya. Winih
menjadi kurus dan lemah. Bahkan, untuk bernapas pun sangat lemah. Aku
sudah berusaha membawanya ke dokter dan rumah sakit terbaik, namun
keadaannya selalu naik-turun. Terkadang membaik, tapi bisa dengan
tiba–tiba drop.
Aku sempat kelimpungan untuk mengurus Winih dan
Onie bersamaan. Pekerjaanku menjadi kacau. Untunglah seorang tanteku mau
meminjamkan pembantunya untuk mengurus Onie. Karena kondisi Winih masih
tidak pasti, aku memutuskan untuk membatalkan rencana pulang ke
Indonesia. Tapi, Winih tidak setuju. Dia bersikeras harus pulang.
Alasannya, dia merasa akan lebih terbantu untuk sembuh, bila berada di
kampung halamannya. Akhirnya aku menyerah. Ketika kondisi Winih membaik,
kami berangkat ke Indonesia menggunakan kapal.
Dalam beberapa
hari pelayaran tersebut kondisi Winih kembali naik-turun. Aku sempat
cemas, namun Winih sangat keras kemauannya sehingga dia tetap sanggup
bertahan. Setiap hari dia minta diberi tahu sudah sampai di mana karena
menurutnya makin dekat ke tujuan semangat hidupnya makin besar.
Perjalanan
yang memakan waktu beberapa minggu tersebut akhirnya usai saat kapal
kami merapat di pelabuhan Jakarta. Kemudian kami melanjutkan perjalanan
dengan kereta api menuju Solo. Sepanjang jalan kusaksikan Winih makin
sehat. Wajahnya tak lagi pucat. Gerakannya makin lincah. Bahkan, dengan
bersemangat Winih menceritakan sekaligus menunjukkan kepada Onie semua
hal baru yang ditemuinya. Onie pun terlihat sangat ceria. Dia mengoceh
tanpa henti sepanjang perjalanan. Aku sangat gembira melihat
perkembangan ini. Aku mulai yakin bahwa apa yang dikatakan istriku
memang benar. Perjalanan kembali ke kampung halamannya ini akan
mengobati penyakitnya.
Kami menginap di sebuah hotel di tengah
Kota Solo. Pertemuan dengan teman–teman Winih baru akan berlangsung tiga
hari lagi. Kesempatan ini kami gunakan untuk menjelajahi Solo dan
sekitarnya. Benar-benar hari-hari yang membahagiakan buat kami
sekeluarga.
Pada malam sebelum pertemuan dengan teman-temannya,
tiba-tiba suhu tubuh Winih meninggi. Badannya panas sekali. Sesekali dia
mengigau, memanggil namaku dan Onie. Aku cemas sekali. Pertemuan hari
itu akhirnya dibatalkan. Teman-teman Winih hanya menjenguk sebentar
untuk kangen-kangenan. Jika kondisi Winih benar-benar sudah pulih,
mereka akan datang kembali. Waktu yang sekejap itu pun terasa sangat
berarti untuk Winih. Dia benar-benar merasa sehat, meskipun kenyataannya
secara fisik masih lemah. Namun, dia mengatakan bahwa dia benar-benar
merasa sangat puas bisa bertemu dengan mereka.
Namun rupanya,
Tuhan benar-benar berkehendak lain. Rencana-Nya kadang-kadang memang tak
bisa dipahami. Sore harinya Winih kembali demam. Suhunya tak turun
juga. Hatiku terasa tawar. Aku merasa kasihan, namun aku tahu aku tak
mungkin serta-merta membantunya, meski aku sangat ingin. Winih tak suka
dikasihani. Menjelang pukul sepuluh malam, Winih memanggilku. Aku
mendekatkan telingaku.
“Hans, di mana Onie?“
“Onie sudah tidur, Win, di sofa. Tampaknya dia kelelahan.“
“Pasti kau juga lelah, ‚kan? Malah sangat lelah harus menjaga kami berdua. Maafkan aku, ya, Hans.“
“Itu tidak penting. Yang penting adalah kamu harus segera sembuh.“
Winih menggeleng.
“Itu
pun sudah tidak penting lagi, Hans. Hanya dirimu dan Onie yang
terpenting. Kalianlah yang menjadikan aku masih berani menawar kepada
Tuhan untuk menunda panggilan-Nya.”
“Ya, Tuhan! Win, apa yang kau bicarakan?
”Hans, aku minta bawalah Onie kemari.”
Aku
beranjak ke sofa dan mengangkat Onie yang masih terlelap. Dengan
hati-hati kuletakkan di samping ibunya. Winih mengusap wajah mungilnya
dan mencium keningnya. Kulihat air mata bergulir di sudut matanya.
Badannya berangsur dingin dan matanya kemudian terpejam.
Wajah
Winih sangat tenang. Tenang sekali. Matanya terpejam. Bibirnya merapat.
Beberapa anak rambutnya mengurai di belakang telinga. Segalanya terasa
ringan seperti tiada beban. Winih sudah pergi. Istriku tidak lagi
menawar pada Sang Waktu.
Tahun 1967, aku kembali lagi saat rezim
Orde Baru berkuasa. Pada waktu itu aku tidak datang sendiri. Aku sudah
menikah lagi. Dia adalah putri atasanku di Belanda, dialah yang selama
ini kamu kenal sebagai ibu dari Leonie.
Suzanne adalah gadis
dari kalangan menengah dan terpelajar yang menyandang gelar sarjana
hukum. Suzanne gadis cantik yang periang dan sangat cerdas. Aku pun
makin menyukainya. Hanya, kadang-kadang aku masih dibayangi oleh wajah
Winih. Aku mengalami pergumulan batin yang melelahkan untuk menentukan
kata hatiku. Bagaimanapun, cintaku kepada Winih tak akan tergantikan.
Kami
menikah di Rotterdam dan selama beberapa tahun kami menjalani pekerjaan
kami sendiri. Aku di perusahaan konsultan yang dipimpin ayahnya dan
Suzanne praktik sebagai pengacara. Kami mulai pindah tinggal di
Indonesia setelah menangani proyek Bendungan Sempor di Gombong. Beberapa
kali pindah sampai akhirnya aku memutuskan untuk mengambil proyek
terakhir di Wonogiri ini dan tinggal di Solo.
Ayahmu terdiam
sebentar, Onie. Perahu kami sudah mendekati lokasi proyek. Aku sudah
mendengar suara-suara bising alat-alat proyek. Ayahmu melambaikan
tangannya kepada beberapa pekerja yang sedang mengangkut bahan-bahan
bangunan.
“Pras, Le, di Solo ini aku menemukan hampir segalanya.
Lepas dari rusuh dan bising kota. Dekat dengan makam Winih. Bersahabat
dengan bapakmu.“
Kami merapat di dermaga proyek dan ayahmu
dengan cekatan melompat mendahului semuanya. Aku masih termangu. Waktu
lebih dari dua jam tak terasa demi mendengarkan cerita ayahmu.
Sepertinya, segala yang kuketahui selama ini tentang keluargamu
teraduk-aduk, seperti bejana yang dihancurkan menjadi tanah dan dibentuk
kembali menjadi bejana baru yang sama sekali berbeda. Ser
Tidak ada komentar:
Posting Komentar