Minggu, 22 Januari 2012

FIKSI BERUJUNG BAHAGIA

(fiksi) Penantian Berujung Bahagia

Tak ada yang pernah tau, bahwa Om Aryo adalah cinta sejati Tante Raya. Mereka berpacaran sejak sama-sama duduk di bangku SMA. Hubungan terjalin secara sembunyi-sembunyi, karena Nenek tak pernah setuju dengan pilihan tante. Klise alasannya, karena Om Aryo berasal dari keluarga yang kurang mampu dan tidak sederajat.

“Ray, apa sih hebatnya anak itu !! Mama mau kamu sekolah dulu, terus kerja dan langsung nikah. Lagian anak itu bisanya apa ??” suara Nenek terdengar dari balik kamar. Saat itu aku baru kelas 5 SD, tapi selalu teringat. Tante Raya hanya tertunduk lesu, menatap keramik bermotif bunga tapi entah apa yang ada dalam pikirannya.

Nenek memang sangat otoriter, Mamaku saja harus selalu mengikuti kemauannya, sejak sekolah, kuliah, maupun urusan jodoh. Bibit-bibit keotoriterannya mulai mengenai aku, Nina si cucu pertamanya. Nenek memasukkanku ke tempat les piano, padahal aku tak suka bermain musik, aku lebih suka les karate atau taekwondo. Katanya anak perempuan harus belajar yang lemah lembut, dan karate lebih cocok untuk lelaki. Uh kesalnya aku saat itu.

Nenek menyekolahkan Tante Raya ke Makasar sekaligus menentukan jurusannya. Tak ada ruang sama sekali untuk menghirup udara bebas layaknya teman-teman sebaya. Tante Raya tenggelam dalam aktivitas kampus dan meraih predikat lulusan terbaik. Betapa bangga nenek dan keluarga besarku.

“Ini baru Raya-ku. Mama bangga padamu nak…” Nenek memeluk kencang Tante Raya dan senyum tersungging lebar. Tante Raya menitikkan air mata, bukan air mata kebahagiaan tapi jauh daripada itu, dia teringat Om Aryo kekasihnya. Andaikan Aryo ada disini, menantinya keluar dari aula besar nan megah, membawakan sebuket bunga mawar merah dan senyum terkembang. Tapi sayang, hanya dalam angan-angan. Om Aryo pergi sehari sebelum hari wisuda. Dalam perpisahan itu, tak ada kata, hanya bulir air mata yang mengalir deras.



Aku tak mau menyerah semudah ini, tapi kurasa ini yang terbaik.

Perpisahan bukan akhir segalanya.

Bilamana jodoh dalam genggaman kita, insyaallah takdir kan mempertemukan.

Tak apalah merasa sakit sekarang, bila bahagia kelak yang didapat.

Kebahagiaan yang sesungguhnya.

Aku sayang Kamu, Ray.



--dari yang mencintaimu “Aryo--


(secarik kertas yang diberikan di bandara, detik-detik menuju perpisahan)



Selesai kuliah, Tante Raya mengajar di beberapa kampus sampai akhirnya mengambil kuliah pascasarjana ke Yogyakarta. Awalnya Nenek tak setuju, tapi berkat usaha yang gigih mengatasnamakan sekolah, disetujui juga. Nenek pun berkali-kali ingin menjodohkan Raya tapi tak ada respon. Raya lebih memilih sibuk dengan berbagai penelitian kampusnya. Tak terpikirkan sedikit pun untuk menikah padahal sudah banyak lelaki yang mendekatinya.



YOGYAKARTA

Yogyakarta sudah di depan mata. Sekelebat dia teringat sosok Aryo, seorang pemuda sederhana berhati lembut, pintar dan memiliki pengetahuan agama yang luas. Dulu saat perpisahan terjadi, Aryo berkata akan pulang ke Yogyakarta, mencari kehidupan lain di tanah Jawa. Raya cepat-cepat tersadar, karena dia tau hidup mereka sudah jauh berbeda.

Dalam suratnya beberapa tahun lalu saat Raya baru saja lulus S1. Maafkan aku Ray,harus kupilih hidupku sekarang. Pernikahan itu telah terjadi seminggu yang lalu. Dia anak kerabat jauhku dari Yogya. Kuharap takdir berkata lain, tapi biarlah sekarang kuikuti langkah ini. Tak ada yang tau takdir setiap hambanya. Tak ada yang tau dengan siapa Tuhan menjodohkan kita. Aku mau kamu, tapi ternyata Tuhan belum mengijinkannya. Tetapi kemungkinan itu selalu ada kan Ray. Aku selalu mencintaimu sampai kapan pun.

Raya tak mau mengganggu, sekalipun di ujung hatinya ada secuil harapan. Harapan untuk kembali mewujudkan cintanya, bersanding dengan lelaki pujaan hati.

Kuliah pascasarjananya sudah dimulai, berbagai penelitian pun dilakukan untuk menunjang tugas-tugas. Berkaitan dengan jurusan yang diambil yaitu di bidang kesehatan, salah satu narasumbernya adalah seorang ibu muda beranak satu yang divonis memiliki penyakit kanker payudara stadium 2. Hubungan mereka tak hanya sebatas peneliti dan narasumber, tetapi semakin dekat. Raya mengagumi sosoknya. Sederhana, penuh semangat dan tak pernah mengeluh. Dari cerita si ibu, suaminya memiliki usaha kecil-kecilan servis komputer. Sementara itu sang istri bekerja di pabrik pengolahan bakpia dekat rumah, tetapi sekarang ini kesehatannya agak terganggu, mudah sakit dan melemah. Biaya sehari-hari tidak mencukupi lagi untuk pengobatan si ibu. Berbagai terapi, pengobatan alternaternatif dan macam-macam cara sudah dilakukan tapi penyakitnya semakin tak ada kemajuan.

“Saya pasrah saja pada Gusti Allah mbak, terserah mau diparingi apa. Sekarang ini saya cuma berpikir untuk terus bekerja. Anak saya masih kecil, ndak tau apa bisa sekolah tinggi seperti mbak. Saya cuma mikirin keluarga, ndak lebih…” kalimatnya yang begitu dalam tatkala Raya menemani si ibu kontrol di rumah sakit.

Tak terasa pertemanan itu sudah terjalin beberapa bulan. Raya merasa banyak belajar. Ternyata hidup yang selama ini dia terima hanya sebagian kecil dari sebuah perjuangan. Hidup bukan hanya untuk cinta, tetapi cintailah hidupmu.

“Pernikahan saya dijodohkan lho mbak. Waktu itu saya ndak tau siapa calon suami saya. Seminggu mau nikah, saya baru liat mukanya. Namanya saja saya baru tau kok…” matanya menerawang. Belakangan mereka saling memanggil dengan sebutan mbak, supaya lebih akrab.

“Kok mbak Suriah ngga nolak, malah nerima gitu aja. Pasrah banget.” Raya masih tak habis pikir.

“Kata orangtua saya, Mas Aryo itu orangnya baik dan agamanya juga bagus. Dia itu masih ada hubungan darah sih sama saya, mbah buyutnya dia sama mbah buyut saya kakak beradik. Ya wis mbak, saya manut saja sama ibu bapak.” nada bicaranya datar tapi sesekali ada senyuman di sudut bibir tipisnya.

Mas Aryo. Dada Raya berdegup kencang tatkala mendengar Suriah menyebut nama itu. Aah mungkin itu Haryo yang lain, ada puluhan bahkan ribuan nama panggilan Aryo di Yogyakarta ini.

“Dan bener mbak, pilihan orangtua saya tepat. Mas Aryo memang orangnya baik, ndak macem-macem. Ngajinya juga bagus. Dia orangnya pekerja keras, ndak banyak ngeluh, itu yang saya suka. Apalagi waktu saya ketauan kena kanker, Mas Aryo ndak berubah. Saya beruntung mbak.” kulihat bola matanya basah, menahan si bulir air mata yang akan turun.

Ya, beruntungnya Suriah. Memiliki keluarga yang luar biasa, sederhana tapi penuh kebahagiaan. Anak yang lucu dan manis serta suami yang pengertian. Dalam hati kecil Raya, ada sedikit rasa iri. Raya sebenarnya jauh lebih beruntung. Memiliki keluarga yang berkecupan, materi yang berlimpah, pendidikan yang tinggi serta kasih sayang dari keluarganya. Hanya ada satu hal yang kurang, Raya tak punya rasa cinta karena rasa itu telah ia kubur dalam-dalam.

Sudah beberapa hari ini Raya tak menemukan Suriah di tempat kerjanya. Ternyata Suriah sakit. Sore itu juga untuk pertama kalinya Raya mendatangi rumah Suriah. Rumah Suriah berada di gang sempit. Kutanya sana sini, dan akhirnya menemukan rumah itu. Rumah sederhana bercat hijau muda, di bagian depan terpampang tulisan “Servis Komputer dan Alat-alat Listrik”. Sebuah motor bebek tua terparkir disana.

Kuucap salam sambil mengetuk pintu. Terdengar suara dari dalam disertai derap langkah kaki. Pintu terbuka dan jantung Raya seakan berhenti. Aryo. Deg. Raya masih ingat wajah itu. Wajah kekasihnya. Si pemilik rumah pun tak kalah kaget, walaupun sekarang Raya sudah dibalut jilbab, tapi kuyakin dia masih mengenalinya.

Ya, Aryo adalah suami Suriah. Mas Aryo biasa Suriah menyebutnya. Inilah suaminya yang sederhana dan tidak pernah mengeluh itu. Ya, sekarang Raya tau betapa beruntungnya Suriah. Bahwa hidupnya ada di tangan seorang lelaki yang luar biasa. Lelaki itu juga pernah ada di dalam hidupnya, walaupun belum bisa memiliki sepenuhnya. Raya tidak marah, tidak kesal atau sakit hati. Raya malah beruntung mengenal Suriah.

Raya dan Dian, putri tunggal Suriah berjalan menuju pemakaman umum. Genap satu minggu kepergian Suriah dan tadi malam acara tahlilannya. Dian memegang erat tanganku, layaknya ibu dan anak. Kondisi Suriah memburuk setelah diketahui kankernya sudah berada di tahap stadium akhir. Begitu cepat Tuhan menjemputnya, meninggalkan orang-orang tersayang.

“Bulik Raya, Bu’e sekarang udah di surga ya ?? Dian bisa ketemu ngga nanti ??” kalimat polos yang meluncur dari bibir anak usia 5 tahun.

“Ia sayang, Dian pasti bisa ketemu lagi sama Bu’e. Dian harus rajin shalat dan selalu doain Bu’e..” suara Raya agak tercekat, bergetar hebat.



SATU TAHUN KEMUDIAN DI KENDARI

Tante Raya sangat cantik hari ini, dalam balutan busana pengantin putih. Bersanding khidmat dengan seorang lelaki yang kupanggil Om Aryo. Disampingnya berdiri seorang anak kecil bernama Dian, membawakan bunga mawar putih. Keluarga yang bahagia.

Sejak tadi malam, senyumnya selalu merekah, menampakkan barisan gigi putih nan rapi. Kutau ada buncahan kebahagiaan dalam dadanya. Penantian yang berujung indah, kisah cinta sejati dan takdir dua anak manusia.

Nenek dan keluarga besarku pada akhirnya merestui cinta mereka. Cinta yang tertunda. Takdir setiap manusia memang sudah tertulis di catatan milik Tuhan termasuk urusan tentang pasangan hati. Aku pun masih belum tau siapa kelak jodohku, sekalipun sudah ada Anton disini. Lelaki yang setahun belakangan ini menemani langkahku, menjadi si penyemangat.

“Tante cantik banget. Kerudungnya pas sama warna bajunya..” aku memandangi Tante Raya, besok adalah hari bahagianya. Hari yang dinantikan selama bertahun-tahun. Penantian berkepanjangan dalam mencari kebahagiaan seorang anak manusia.

“Makasih Nina sayang. Bentar lagi kamu yang akan ada disini dan gantian Tante yang nungguin kamu.” Tante Raya mencubit pelan kedua pipiku.

Kutatap lagi wajah tanteku, semakin berbinar-binar. Ya Rabb, bahagiakan pernikahan keduanya, sempurnakan iman islam mereka, lingkupilah kebahagiaan dunia dan akhirat. Amin. Hanya doa yang bisa kupanjatkan untuk keduanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar